MAKALAH KONTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TRADISI TAHLILAN
MAKALAH
KONTRUKSI
SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TRADISI
TAHLILAN
Disusun guna
memenuhi tugas UAS Mata
Kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu : Samsul
Bakhri, M.Sos
Disusun oleh :
Eka
Risqiyana (3319022)
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Teori konstruksi sosial
merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori ilmu sosiologi yang ada. Peter
L. Berger merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan teori konstruksi sosial
dalam
the social construction of reality: a treatise
in the sociology of knowledge (1966,
dengan Thomas Luckmann) (bahasa Indonesia: Tafsir Sosial atas
Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES,
Jakarta, 1990).[1] Perspektif atau paradigma ini penting sebagai salah satu sudut
pandang atau perspektif dalam melihat gejala sosial atau
realitas sosial. Pada makalah ini akan menjelaskan mengenai pokok-pokok pemikiran Peter L.
Berger mengenai teori konstruksi sosial pada tradisi tahlilan yang terdapat di
masyarakat Indonesia. Fokus
pembahasan pada makalah ini adalah masyarakat sebagai kenyataan objektif dan
subjektif serta tahapan
dalam kontruksi sosial Peter L. Berger.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana teori
kontruksi sosial Peter L. Berger?
2.
Apa contoh
fenomena dalam masyarakat yang berkaitan
dengan teori kontruksi sosial Peter L. Berger?
3. Bagaimana analisis fenomena
dalam masyarakat dengan teori
kontruksi sosial Peter L. Berger?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
teori kontruksi sosial Peter L. Berger.
2.
Untuk mengetahui
contoh fenomena dalam masyarakat yang berkaitan dengan teori
kontruksi sosial Peter L. Berger.
3. Untuk mengetahui analisis fenomena
dalam masyarakat dengan teori
kontruksi sosial Peter L. Berger.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger
konstruksionisme atau social construction
adalah teori yang
diperkenalkan oleh kalangan interaksionis yang mendekati ilmu komunikasi pada
aspek aktivitas mendapatkan pemahaman, makna, norma,
aturan bekerja melalui komunikasi yang terjadi secara
intensif. Inti gagasan social construction adalah pengetahuan merupakan
hasil dari interaksi simbolik (knowledge is a product
of symbolic interaction) di antara kelompok
masyarakat tertentu. Realitas dikonstruksi oleh lingkungan
sosial, produk dari kehidupan budaya dan kelompok
(reality is socially constructed, a product of group and
cultural life). [2] Kontruksi sosial adalah suatu proses pemaknaan yang dilakukan setiap
individu terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya, yaitu makna subjektif
dari realitas objektif di dalam kesadaran orang yang menjalankan kehiduannya
sehari-hari.[3]
Pemikiran Berger dipegaruhi oleh pemikiran Weber mengenai tindakan
sosial “makna subyektif”, fenomenologi Edmund Husserl mengenai analisis
kesadaran,
dan fenomenologi Alfred Schutz yang mengembangkan fenomoenologi Husserl menjadi
lebih sosiologis. Peter L. Berger bersama Thomas Luckmann memperjelas
gagasan Husserl tentang dunia kehidupan yang lebih
terbuka versi “subyektif” dari dominasi paradigma
fungsionalis dalam sosiologi Amerika pada akhir 1960-an. Berger dan Luckmann
memperkenalkan kembali obyek/subyek yang berbeda dalam inti teori pelembagaan sosiologis
mereka. “Lifeworld” di
sini menjadi realitas “sehari-hari”, untuk dipahami sebagai interpretasi aktor sosial
dalam sikap yang alami. Fenomenologi, dalam versi ini, lebih berhutang
pada pemikiran Talcott Parsons daripada Edmund Husserl. Kemudian implikasi
metodologis dan teoritis dari posisi ini dikembangkan
oleh Harold Garfinkel sebagai “Ethnometodologi”, yang
dianggap sebagai sekularisasi dari fenomenologi.[4]
Perpaduan antara Peter
L. Berger dan Thommas Luckmann mencetuskan
konsepsi
sosiologi pengetahuan yang harus menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai
pegetahuan oleh masyarakat.[5] Menurut
Berger dan Luckmann, pengetahuan
yang valid atau akal sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama-sama dengan
masyarakat dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Kenyataan mengetahui pengetahuan
ini sangat sulit untuk disangsikan karena sudah menjadi kebiasaan atau
rutinitas dalam kehidupan bermasyarakat.[6]
Sosiologi pengetahuan harus memahami bagaimana proses-proses
itu dilakukan sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuklah “kenyataan” yang dianggap
sudah sewajarnya oleh orang awam. Inilah
yang menjadi fokus kajian dalam sosiologi pengetahuan,
bagaimana pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social contruction of reality) itu
dijabarkan. pemahaman bahwa “kenyataan”
dan “pengetahuan” yang lahir dari kontruksi social atas
realitas sehari-hari sangat dipengaruhi oleh individu
memahami sesuatu berdasarkan kebiasaan (habitus) dan cadangan pengetahuannya (stock of knowledge). Berger banyak
“berhutang budi” pada fenomenologi
Alfred Schutz
.[7]
Belajar banyak dari gurunya, Alfred Schutz, membuat Berger dengan
keras menolak gagasan positivisme yang baginya kurang humanis dibandingkan aliran
fenomenologi. Melalui konsep sosiologi, pengetahuan Berger melihat kenyataan sebagai
dua: obyektif dan subyektif. Berger setuju dengan anggapan antropologis Karl Marx
tentang realitas objektif manusia sebagai produk sosial-budaya, namun, dalam
realitas subjektif, manusia adalah organisme yang memiliki kecenderungan
tertentu dalam masyarakat dan bersifat interpretatif. Untuk memahami apa yang
nyata bagi masyarakat, Berger membentuk teorinya
tentang konstruksi realitas dalam tiga tahap: eksternalisasi, objektifikasi,
dan internalisasi.[8]
Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz,
Berger jauh keluar dari fenomenologi Schutz yang
hanya berkutat pada makna dan sosialitas.
Karena itu garapan Berger tak lagi fenomenologi,
melainkan sosiologi pengetahuan. Berger juga memperhatikan makna
tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang
diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan
membenarkan tatanan sosial. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat
kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena
tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai
moral. [9]
Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari
internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam
kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi
dipengaruhi oleh stock of knowledge
(cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan
sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common
sense knowledge (pengetahuan akal-sehat). Common sense adalah pengetahuan yang
dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang
normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.[10]
Salah satu penyebab lahirnya teori konstruksi sosial adalah
pertanyaan Berger mengenai apa itu kenyataan. Pertanyaan
tersebut muncul akibat dominasi dua paradigma filsafat; empirisme dan
rasionalisme. Melalui konsepsi sosiologi pengetahuan, Berger pada akhirnya
berhasil menjawab pertanyaannya dengan rumusan “ kenyataan obyektif ” dan “
kenyataan subyektif ”.[11]
Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di
dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi
yang dilakukan berulang-ulang sehingga terlihat
polanya dan dipahami bersama- yang kemudian
menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan
pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke
generasi sesudahnya melalui bahasa.[12] Masyarakat
sebagai realitas obyektif juga menyiratkan
keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan
obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan
pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena tidak hanya menyangkut penjelasan
tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivasi yang
sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. [13]
Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan
bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri
itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami
manusia untuk ’mengambil alih’ dunia
yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi
berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik
primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi
yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan
diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain,
tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi
inilah, individu berperan aktif sebagai
pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.[14]
Berger dan Luckmann menggunakan proses dialektis yang
dialami oleh manusia melalui tiga momen; eksternalisasi, obyektivasi, dan
internalisasi. Momen-memen tersebut tidak selalu berlangsung dalam suatu urutan
waktu, namun masyarakat dan tiap individu yang menjadi bagian darinya secara
serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga analisis dari
masyarakat harus melalui tiga momen tersebut.[15]
Eksternalisasi
adalah sebagai suatu proses pencurahan keindividuan manusia secara terus
menerus yang berakar dari perlengkapan biologis manusia, keberadaan manusia berlangsung
pada lingkungan terbuka dan bergerak.
Manusia secara terus-menerus mengeksternalisasi diri dalam aktivitasnya. Diartikan
juga bahwa dimana seseorang melakukan adaptasi
terhadap lingkungan sosialnya, namun memposisikan dirinya sebagai sesuatu yang eksternal atau sesuatu
yang berada di luar diri manusia. Dalam kata
lain eksternalisasi adalah momen proses pengeluaran gagasan dari dunia ide (gagasan) ke dunia
nyata atau riil. Realitas sosial, juga mengharuskan seseorang untuk memberikan
responnya. Respon seseorang terhadap pranata-pranata
sosial yang ada, bisa berupa penerimaan, penyesuaian maupun penolakan. Bahasa
dan tindakan merupakan sarana bagi seseorang untuk mengkonstruksi dunia
sosio-kulturalnya melalui momen ekternalisasi ini. Secara sederhana fase
eksternalisasi dapat dipahami sebagai fase visualisasi atau verbalisasi pikiran
dari dimensi batiniah ke dimensi lahiriah.[16]
Objektivasi
ialah tahap di mana interaksi sosial
yang terjadi dalam dunia intersubjektif
yang dilembagakan atau mengalami
proses institusionalisasi. Pada tahap
ini, sebuah produk sosial berada proses
institusionalisasi, sedangkan individu
memanifestasikan diri dalam produk-produk
kegiatan manusia yang tersedia,
baik bagi produsen-produsennya maupun
bagi orang lain sebagai unsur dari dunia
bersama. Objektivasi ini bertahan lama
sampai melampaui batas tatap muka di mana
mereka bisa dipahami secara langsung.
Dengan demikian, individu melakukan
objektivasi terhadap produk sosial,
baik penciptanya maupun individu lain.
Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka
saling bertemu. Artinya, proses ini bisa terjadi melalui penyebaran opini
sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini
masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka
antarindividu dan pencipta produk sosial.[17]
Internalisasi ialah proses di mana individu mengidentifikasikan
dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya.[18] Proses internalisasi
lebih merupakan penyerapan kembali
dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi
oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah
terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya,
sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia
menjadi hasil dari masyarakat.[19] Setiap
individu dapat memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas
suatu realitas yang sama. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,
preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya
masing-masing.[20]
B. Contoh Fenomena dalam Masyarakat
Budaya tahlilan merupakan salah satu budaya masyarakat di
Indonesia. Tradisi tahlilan tersebut hingga saat ini masih
kita jumpai di kalangan masyarakat. Tahlilan yang merupakan
tradisi yang bertujuan untuk menyatakan simpati dan empati kepada keluarga yang
ditimpa musibah kematian.[21] Sudah
menjadi tradisi di kalangan umat Islam Indonesia, bila ada seseorang
yang wafat, maka keluarga almarhum mempunyai tanggung jawab moral
untuk menyelenggarakan tahlilan. Acara ini dihadiri oleh para kerabat, keluarga,
tetangga dan handai taulan. Setelah pelaksanaan tahlil, biasanya dilanjutkan
dengan acara takziah. Dalam takziah itu, sering diisi ceramah agama yang
bertujuan untuk menghibur keluarga yang sedang berduka, serta menyampaikan
siraman rohani keagamaan kepada masyarakat yang hadir.[22] Bahkan,
dalam tataran tertentu, orang yang tidak mengindahkan adat tradisi tersebut akan
dianggap gak ilok (tabu) oleh masyarakat.[23]
C.
Analisis Fenomena Tahlilan dalam
Masyarakat dengan Teori
Kontruksi Sosial Peter L. Berger.
1.
Analisis Kenyataan
Objektif
Dalam catatan
sejarah Islam, ritual tahlilan tidak dijumpai di
masa Rasulullah SAW, di masa para sahabatnya dan para Tabi’in maupun
Tabi’ al-Tabi’in. Bahkan, acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam
Ahlus Sunah seperti Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad, dan
ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Awal mula
acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang
bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Buddha. Upacara
tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah
meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu
tahlilan. Dari aspek historis ini, bisa dikatakan bahwa sebenarnya acara tahlilan
merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama
lain.[24]
Tahlilan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Islam di Jawa ketika ada yang tertimpa musibah
kematian (meninggal dunia) adalah melaksanakan peringatan
yang dirangkaikan dengan kegiatan pembacaan surah Yasin, Tahlil, dan
doa. Kegiatan ini dilaksanakan dari malam ke 1, 2, dan 3, kemudian malam ke
7, dan bahkan ada yang 40, 100 dan 1000 hari, akan tetapi yang lazim dilaksanakan
hanya sampai malam ketujuh.[25] Pelaksanaan
Tahlilan meliputi pembacaan doa, pihak anggota keluarga menyajikan suguhan dan
berkat untuk dibagikan serta dibawa pulang.
2.
Analisis Kenyataan
Subjektif
Beberapa individu beranggapan bahwa kematian merupakan hal yang sangat penting,
cara menyikapinya juga tergantung individu itu sendiri tidak harus dengan
pelaksanaan Tahlilan. Ada beberapa
pendapat bahwasanya menyelenggarakan
Tahlilan harus disesuaikan dengan kondisi finansial dan kepercayaan
masing-masing. Selain butuh biaya, serangkaian ritualisasi kematian tersebut
juga membutuhkan pemahaman agar tidak merubah nilai norma budaya dan agama
didalamnya. Perihal kematian, individu mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Hal ini didasarkan
pada konstruksi objektif dan hasil internalisasi fenomena Tahlilan dari
pengalaman subjektifnya. Sedangkan beberapa inidividu yang lainya
mengkonstruksikan bahwa kematian adalah realitas yang nyata dan tidak dapat
digambarkan oleh manusia yang belum pernah merasakanya sendiri. Kematian secara
logis hanya dapat dibuktikan secara medis.
3.
Analisis Tahapan Kontruksi
Sosial Peter L. Berger
Menurut konsepsi Berger dan Luckmann,
terbentuknya proses kontruksi baik secara
objektif maupun subjektif melalui 3 tahapan yakni eksternalisasi, objektivasi
dan internalisasi.
Tahap eksternalisasi
merupakan proses awal individu mengenal budaya yang dilakukan pada masyarakat
di lingkungan sosialnya. Eksternalisasi terjadi pada lingkungan keluarga,
pertemanan dan tempat tinggal dimana fenomena Tahlilan terjadi. Individu akan
mengamati dan meniru perilaku tersebut karena diakui kebenaranya secara umum.
Budaya Tahlilan dalam menyikapi kematian selalu dilaksanakan pada sebagian
besar masyarakat Islam Jawa. Tahap eksternalisasi masih berada diluar diri individu. Konstruksi
yang terbentuk masih secara luas dan objektif. Terjadi proses dialektis dalam
dunia intersubjektif antara pengetahuan subjektif dengan realitas sosial yang
bersifat objektif, kemudian individu akan melakukan permaknaan pada tahap
selanjutnya. Fenomena tersebut sebagai wadah berkumpulnya realitas sosial
berupa bahasa maupun tindakan atau perilaku yang diamati oleh individu hingga mewujudkan kesadaran dan solidaritas sosial.
Tahap selanjutnya ialah
objektivasi berupa proses permaknaan dan pelembagaan terhadap nilai dan norma
sosial dari eksternalisasi. Individu
menangkap realitas sosial secara sadar
kemudian diresapi kembali. Tahap objektivasi masih berada diluar diri individu.
Tahap objektivasi pada tradisi
tahlilan adalah tindakan solidaritas
sosial secara bergotong royong untuk menghadiri dan membantu proses pemakaman. Individu menjadi bagian dari masyarakat dalam tradisi tahlilan tersebut.
Tahap selanjutnya
ialah tahap internalisasi. Internalisasi
ialah proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi
anggotanya.[26] Internalisasi sebagai input yang akan diekspresikan dalam dunia sosiokultural. Setelah
melewati dua tahap
eksternalisasi dan objektivasi, maka individu mengkonstruksikan bahwa setiap kematian harus disikapi dengan
Tahlilan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kontruksi sosial
Peter L. Berger dan Thommas Luckmann adalah pengetahuan merupakan hasil dari
interaksi simbolik (knowledge is a product of symbolic interaction) di antara kelompok
masyarakat tertentu. Realitas dikonstruksi oleh lingkungan
sosial, produk dari kehidupan budaya dan kelompok. yang mana kajian ini merupakan bahasan
sosiologi pengetahuan. Melalui
konsepsi sosiologi pengetahuan, Berger pada akhirnya berhasil menjawab
pertanyaannya dengan rumusan kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Berger dan Luckmann menggunakan proses dialektis yang
dialami oleh manusia melalui tiga momen; eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.
Tahlilan merupakan tradisi yang terdapat di
Indonesia. Tahapan kontruksi sosial tradisi tahlilan sendiri terbentuk melalui
3 tahapan yaitu:
1.
Tahap
eksternalisasi yaitu proses di mana individu mengenal budaya
tahlilan yang dilakukan pada
masyarakat di lingkungan sosialnya.
2.
Tahap objektivasi
berupa proses permaknaan dan pelembagaan
terhadap nilai dan norma sosial dari eksternalisasi.
3.
Tahap internalisasi
menjadikan individu mengkonstruksi bahwa
setiap kematian harus disikapi dengan Tahlilan.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, Ferry
Adhi.
2018. Konstruksi Realitas Sosial: Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan Sosial. Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi. no. 1. volume 7.
Herlina, Muria. 2017.Sosiologi Kesehatan Paradigma Konstruksi
Sosial Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Perspektif Peter
L. Berger & Thomas Luckmann. Surabaya: Muara Karya (Anggota IKAPI).
Irfan,
Maulana. 2016. Metamorfosis Gotong Royong dalam Pandangan Konstruksi Sosial. Prosiding
Ks: Riset & Pkm.
Volume: 4 Nomor 1.
Karman. 2015. Konstruksi Realitas Sosial Sebagai Gerakan Pemikiran (Sebuah Telaah Teoretis terhadap Konstruksi Realitas Peter L. Berger). Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika. Volume
5 No. 3.
Mahmud. 2019. Menuju Sekolah
Antikorupsi
(Perspektif Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann). Jurnal Kajian dan
Pengembangan Umat .Vol. 2 No. 1.
Muta’afi, Fithri. 2015.Kontruksi
Sosial Masyarakat terhadap Penderita Kusta, Jurnal Paradigma. Volume 03.
Nomor 03.
Rodin,
Rhoni. 2013. Tradisi Tahlilan dan Yasinan, Ibda Jurnal Kebudayaan Islam. Vol.
11, No. 1.
Santoso,
Puji. Kontruksi Sosial Media Massa, Al-Balagh.
Vol. 1, No. 1.
Sulaiman, Aimie. 2016.Memahami
Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger.
Jurnal Society. Volume VI. Nomor I.
Warisno, Andi. 2017. Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi.
Jurnal ri‟ayah. Vol. 02, No. 02.
[1] Karman, Konstruksi Realitas Sosial Sebagai Gerakan
Pemikiran (Sebuah Telaah Teoretis terhadap Konstruksi Realitas Peter L.
Berger), Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika, Volume
5 No. 3, 2015, hal. 16
[2] Karman, Konstruksi Realitas Sosial Sebagai Gerakan
Pemikiran (Sebuah Telaah Teoretis terhadap Konstruksi Realitas Peter L.
Berger), Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika, Volume
5 No. 3, 2015, hal. 14
[3] Fithri
Muta’afi, Kontruksi Sosial Masyarakat terhadap Penderita Kusta, Jurnal
Paradigma, Volume 03, Nomor 03, 2015, hal. 3
[4] Ferry Adhi
Dharma, Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan
Sosial, Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, no. 1, volume 7, 2018, hal. 5
[5] Ferry Adhi
Dharma, Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan
Sosial, Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, no. 1, volume 7, 2018, hal. 2
[6] Ferry Adhi Dharma,
Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan Sosial,
Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, no. 1, volume 7, 2018, hal. 4
[7] Aimie
Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal Society,
Volume VI, Nomor I, 2016. Hal 17
[8] Ferry Adhi
Dharma, Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan
Sosial, Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, no. 1, volume 7, 2018, hal. 1
[9] Aimie
Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal Society,
Volume VI, Nomor I, 2016. Hal 18
[10] Aimie
Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal Society,
Volume VI, Nomor I, 2016. Hal 18
[11] Ferry Adhi
Dharma, Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan
Sosial, Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, no. 1, volume 7, 2018, hal. 2
[12] Aimie
Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal Society,
Volume VI, Nomor I, 2016. Hal 19
[13] Aimie
Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal Society,
Volume VI, Nomor I, 2016. Hal 20
[14] Aimie
Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal Society,
Volume VI, Nomor I, 2016. Hal 21
[15] Ferry Adhi Dharma,
Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan Sosial,
Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, no. 1, volume 7, 2018, hal. 5
[16] Mahmud, Menuju Sekolah Antikorupsi (Perspektif
Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann), Jurnal Kajian dan
Pengembangan Umat Vol. 2 No. 1. 2019, Hal. 8
[17] Maulana Irfan,
Metamorfosis Gotong Royong dalam Pandangan Konstruksi Sosial, Prosiding Ks: Riset
& Pkm Volume: 4, nomor 1, 2026, hal. 6
[18] Maulana
Irfan, Metamorfosis Gotong Royong dalam Pandangan Konstruksi Sosial, Prosiding
Ks: Riset & Pkm Volume: 4, nomor 1, 2026, hal. 7
[19] Puji Santoso, Kontruksi
Sosial Media Massa, Al-Balagh, Vol. 1, No. 1, 2016, hal. 39
[20] Muria
Herlina, Sosiologi Kesehatan Paradigma Konstruksi Sosial Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat dalam Perspektif Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Muara Karya
(Anggota IKAPI), Surabaya, 2017, hal. 86
[21] Aimie Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger, Jurnal
Society, Volume VI, Nomor I, 2016. Hal0 1
[22] Andi
Warisno, Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi, Jurnal ri‟ayah, Vol.
02, No. 02, 2017 hal. 70
[23] Rhoni Rodin,
Tradisi Tahlilan dan Yasinan, Ibda Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1,
2013, hal. 77
[24] Rhoni Rodin,
Tradisi Tahlilan dan Yasinan, Ibda Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1,
2013, hal. 83-84
[25] Rhoni Rodin,
Tradisi Tahlilan dan Yasinan, Ibda Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1,
2013, hal. 78
[26] Maulana
Irfan, Metamorfosis Gotong Royong dalam Pandangan Konstruksi Sosial, Prosiding
Ks: Riset & Pkm Volume: 4, nomor 1, 2026, hal. 7
Komentar
Posting Komentar